Kajian Teori Feminisme Marxis
Berdasarkan hasil pemantauan Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), hampir sebagian besar daerah di Indonesia terindikasi sebagai daerah asal korban trafficking, baik untuk dalam maupun luar negeri. Daerah tersebut meliputi, Nanggroe Aceh Darrussalam, Sumatera, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur.
Indonesia juga menempati urutan ke-3 sebagai negara yang bermasalah dalam memberantas human trafficking. Sekitar 30% prostitusi perempuan di Indonesia adalah perempuan di bawah umur 18 tahun. Sebanyak 40.000 s/d 90.000 per tahun, anak Indonesia menjadi korban kekerasan seksual. Perempuan dan anak Indonesia diperdagangkan untuk eksploitasi seksual, yaitu di Asia dan Timur Tengah.
Indonesia juga menempati urutan ke-3 sebagai negara yang bermasalah dalam memberantas human trafficking. Sekitar 30% prostitusi perempuan di Indonesia adalah perempuan di bawah umur 18 tahun. Sebanyak 40.000 s/d 90.000 per tahun, anak Indonesia menjadi korban kekerasan seksual. Perempuan dan anak Indonesia diperdagangkan untuk eksploitasi seksual, yaitu di Asia dan Timur Tengah.
Tulisan ini disusun untuk menganalisis kasus perdagangan manusia (human trafficking), sindikat prostitusi wanita dan lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Dengan menggunakan teori feminist Marxis, penulis mencoba memberikan argumentasi yang tepat dan solusi dalam memecahkan permasalahan tersebut. Keadaan sekitar sering mengkonstruksikan wanita sebagai makhluk yang lemah (hanya menjadi konco wingking) khususnya dalam segi ekonomi. Pada saat sekarang ini, wanita selalu jadi 'makhluk kelas dua' jika dibandingkan dengan lawan jenisnya, laki–laki. Wanita menjadi pihak yang tertindas karena situasi dan tuntutan ekonomi. Hal inilah yang kemudian memaksa para wanita tersebut, akhirnya menjadi seorang pekerja seks. Laki-laki mempunyai akses yang lebih baik dari segi ekonomi. Oleh karena itu membuat penindasan dan pelecehan seksual terhadap wanita kerap terjadi di Indonesia.
Pada dasarnya gerakan feminist lahir dari upaya untuk melakukan pembongkaran terhadap penindasan wanita. Feminisme ini adalah basis teori dari gerakan pembebasan perempuan. Untuk membahas permasalahan diatas, penulis mencoba menjelaskan menggunakan aliran feminist Marxis, karena fokus aliran ini, menuntut adanya pembebasan wanita. Pembebasan terhadap kaum wanita tersebut karena wanita disingkirkan secara ekonomi. Di beberapa negara di dunia, perempuan hampir seluruhnya terkungkung di dalam rumah, dirampas hak demokratis dan ekonominya, dan akhirnya menjadi seorang pekerja seks sebagai korban penindasan laki-laki. Feminist Marxis dan sosialis percaya bahwa opresi terhadap perempuan bukanlah hasil tindakan sengaja dari satu individu, melainkan produk dari struktur politik, sosial, dan ekonomi tempat individu itu hidup (Tong, 1998: 139).
Kaum Feminis Marxis menolak gagasan kaum radikal bahwa ‘biologi’ sebagai dasar pembedaan. Bagi aliran feminist Marxis, penindasan perempuan adalah bagian dari eksploitasi kelas dalam ‘relasi produksi’. Isu perempuan selalu diletakkan dalam kerangka kritik terhadap kapitalisme.
Dalam aliran ini, ketidaksetaraan kekayaan adalah penyebab pelacuran. Wanita sangat mungkin akan memilih untuk “menjual tubuhnya” karena mereka membutuhkan uang, tanpa ada ”keahlian yang dapat mereka pasarkan”. Penganut feminisme Marxisme beranggapan bahwa penyebab penindasan perempuan bersifat struktural (akumulasi kapital, dan divisi kerja internasional). Yang membuat wanita menjadi subordinat adalah karena basis material. Wanita tidak memberikan banyak kontribusi, berbeda halnya dengan pria. Hal ini juga terlihat dalam beberapa pemberitaan media massa, dimana karena masalah ekonomi, seorang wanita memutuskan untuk menjadi seorang pekerja seks/ pelacur (masuk dalam jaringan prostitusi). Pelacur adalah korban dan wanita ini berusaha merubah nasibnya untuk hidup bahagia seperti kita pada umumnya. Yang perlu ditekankan disini adalah peran teori feminist ini dalam mengkaji permasalahan wanita yang lemah dalam segi ekonomi, sehingga wanita dapat keluar dari jerat persoalan gender.
Pada dasarnya manusia, baik pria maupun wanita, adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna, mempunyai akal dan budi untuk bertindak secara rasional dan sesuai dengan moral. Namun hal ini tidak berlaku lagi ketika wanita telah menjadi sebuah barang atau komoditas yang dapat diperjualbelikan. Fenomena ini tentu saja mengindikasikan terjadinya penyimpangan moral.
Berbicara mengenai perdagangan manusia (human trafficking) tentu bukan menjadi persoalan baru bagi masyarakat Indonesia. Tidak hanya terjadi di Indonesia, kasus human trafficking juga telah marak terjadi di sejumlah negara di dunia. Menurut
UU Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, telah disebutkan bahwa yang disebut trafficking atau perdagangan manusia adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Meskipun demikian, perdagangan dan kasus prostitusi masih terjadi di Indonesia. Hal ini bisa disebabkan karena penanganan pemerintah yang masih kurang dan karena penegakan melalui hukum terhadap pelaku yang masih sangat terbilang lemah.
Kaitannya dengan aliran feminist marxis ini adalah ketika kedudukan wanita menjadi subordinat, karena wanita tersebut lemah secara ekonomi, hal ini memperlihatkan bahwa representasi dari wanita selalu yang tersingkirkan. Seorang wanita yang berprofesi sebagai pekerja seks komersil (PSK) atau pelacur karena tuntutan ekonomi. Dengan alasan kemiskinan, setiap anak sah untuk diperdagangkan dan menjadi seorang pelacur, bahkan ketika wanita-wanita tersebut masih bayi.
UU Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, telah disebutkan bahwa yang disebut trafficking atau perdagangan manusia adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Meskipun demikian, perdagangan dan kasus prostitusi masih terjadi di Indonesia. Hal ini bisa disebabkan karena penanganan pemerintah yang masih kurang dan karena penegakan melalui hukum terhadap pelaku yang masih sangat terbilang lemah.
Kaitannya dengan aliran feminist marxis ini adalah ketika kedudukan wanita menjadi subordinat, karena wanita tersebut lemah secara ekonomi, hal ini memperlihatkan bahwa representasi dari wanita selalu yang tersingkirkan. Seorang wanita yang berprofesi sebagai pekerja seks komersil (PSK) atau pelacur karena tuntutan ekonomi. Dengan alasan kemiskinan, setiap anak sah untuk diperdagangkan dan menjadi seorang pelacur, bahkan ketika wanita-wanita tersebut masih bayi.
Sepenggal ilustrasi dalam berbagai berita di media masa maupun cetak tentang human trafficking. Menurut penulis, aliran feminist ini cocok digunakan untuk mengkaji permasalahan human trafficking dan sindikat prostitusi yang selama ini tercermin dalam setiap munculnya berita tersebut. Secara umum feminisme adalah gerakan wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarjinalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun dari segi kehidupan lainnya. Sesuai dengan aliran feminist Marxis ini, ketidaksetaraan kekayaan adalah penyebab dari pelacuran. Seorang pelacur sama halnya dengan seorang buruh yang “menjual” dirinya kepada orang lain untuk kemudian diberikan upah. Selain itu, profesi sebagai pelacur ini juga mengalami alienasi. Ia melakukan pekerjaan tersebut untuk orang lain, sehingga ia akan mengalienasikan diri dari pekerjaanya. Di dalam kapitalisme, seksualitas perempuan menjadi komoditi, tubuhnya diperlakukan layaknya sebuah “barang” yang dapat diperjualbelikan. Hal ini berlaku ketika seorang laki-laki kelas atas atau menengah yang mempunyai cukup uang untuk “membeli” pelayanan seksual perempuan.
Merujuk pada asumsi dari aliran Marxis ini, bahwa perempuan itu tertindas karena tidak memiliki alat-alat produksi yang bisa digunakan untuk bisa menghasilkan uang. Akibatnya, perempuan tidak memiliki kekuasaan dalam baik dalam keluarga, masyarakat, maupun negara. Inilah ketimpangan sosial yang masih sering terjadi dalam realitas kehidupan.
Seperti teori ekonomi dan kemasyarakatan, teori politik Marxis menawarkan suatu analisis bagi perempuan untuk mendapatkan kebebasan dari kekuatan yang menekannya. Marxis menginginkan hal tersebut sebagai suatu kenyataan. Bagaimanapun juga perempuan dan laki-laki harus dapat bersama-sama membangun sistem dan peran sosial di dalam masyarakat. Dengan kata lain, Marxisme menghendaki adanya kesetaraan gender antara wanita dan pria.
Dalam buku Glosarium Seks dan Gender, yang dimaksud kesetaraan jender (gender equality) adalah :
(1) kesetaraan kesempatan dan hasil untuk perempuan dan laki-laki, termasuk penghapusan diskriminasi dan ketidaksetaraan struktural dalam mengakses sumber daya, kesempatan, dan jasa-jasa,
(2) Kesamaan perolehan kesempatan dan hasil untuk perempuan dan laki-laki, termasuk penghapusan diskriminasi dan ketidaksetaraan struktural dalam mengakses sumber daya, kesempatan, dan jasa-jasa, seperti akses yang sama untuk kesehatan, pendidikan, sumber daya produktif, partisipasi sosial, dan ekonomi.
Adanya kesetaraan gender ini, akan meminimalisir terjadinya perdagangan manusia dan prostitusi. Wanita diperlakukan dengan manusiawi, sama halnya dengan pria. Dalam aliran Marxis juga mendukung penghancuran terhadap kapitalisme, sehingga wanita tidak lagi lemah dalam segi ekonomi. Wanita bukan sebagai komoditas bagi kaum pria. Sistem dalam penegakan hukum juga harus ditingkatkan. Peran dan posisi perempuan di dalam masyarakat tidak akan berubah jika cara pandang laki-laki, masyarakat, dan negara tetap dengan cara pandang maskulin. Perempuan akan terus teropresi. Oleh karena itu, akses dan kontrol perempuan harus dibuka dan diperluas pada semua aspek kehidupan.
0 komentar:
Posting Komentar