Menurut penulis, peran politik permpuan di Indonesia telah dimunculkan sejak R.A. Kartini memperjuangkan hak-hak politik (kesetaraan gender). Harus diakui bahwa ide pergerakan politik Indonesia yang berakhir dengan sebuah kemerdekaan negeri ini, bercikal bakal dari sebuah bukunya Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku ini bukan hanya menginspirasikan gerakan gender di Indonesia, tetapi menjadi inspirator gerakan politik kemerdekaan.
Sebut saja beberapa pemikir dan pejuang Indonesia yang diilhami pemikiran Kartini dalam pergerakan Indonesia seperti Sutan Syahrir, Mohamad Hatta, Soekarno, Mohamad Yamin dan Agus Salim. Pantaslah beberapa ahli menobatkan Kartini sebagai ibu dari nasionalisme modern Indonesia, karena keberhasilannya melihat secara kritis dan tajam tentang nilai-nilai yang mempengaruhi kehidupan masyarakat saat itu perlu disesuaikan dengan peradaban baru menuju Indonesia Baru.
Sebut saja beberapa pemikir dan pejuang Indonesia yang diilhami pemikiran Kartini dalam pergerakan Indonesia seperti Sutan Syahrir, Mohamad Hatta, Soekarno, Mohamad Yamin dan Agus Salim. Pantaslah beberapa ahli menobatkan Kartini sebagai ibu dari nasionalisme modern Indonesia, karena keberhasilannya melihat secara kritis dan tajam tentang nilai-nilai yang mempengaruhi kehidupan masyarakat saat itu perlu disesuaikan dengan peradaban baru menuju Indonesia Baru.
Pada Rezim Orde Baru pun, perempuan selalu dikedepankan dalam kancah perpolitikan dan pemerintahan di Indonesia. Jika kita menggunakan parameter kuantitatif, maka jelas sangatlah tidak memuaskan. Kaum perempuan sering dijadikan sebagai partner yang belum menampakan peran yang jelas. Kementerian yang mengurus tentang perempuan tampak dalam Rezim Orde Soeharto ini, belum memberdayakan perempuan secara maksimal. Bahkan lebih menunjukkan sebuah kecenderungan sebagai pelengkap dan pendamping kaum lelaki. Tampak adalah banyak organisasi perempuan yang berada dibalik karya kaum pria. Sebut saja Organisasi Dharma Wanita, PKK dan Ormas Perempuan yang bertujan untuk mendukung kehidupan rezim pada masa itu.
Pada era Reformasi ini, peran politik perempuan secara serius telah diakomodir dengan sebuah kebijakan legal formal dalam bentuk Undang undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang memberikan kuota 30% untuk perempuan dalam pemilu legislatif. Selain itu UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Dalam realitas pemerintahan di Indonesia saat ini telah memberikan hak-hak politik untuk masuk dalam kancah pemerintahan mulai dari tingkat desa/kelurahan, camat, bupati/walikota, gubernur, menteri bahkan presiden. Keterwakilan perempuan dalam mendapatkan kepercayaan politik tentu menjadi sebuah parameter tersendiri. Hal ini jika kita kaitkan dengan berbagai opini atau berita yang melabelkan gender di Indonesia masih menjadi sebuah permasalahan besar, tentunya perlu didiskusikan lebih jauh.Sebuah pertanyaan lepas penulis adalah mengapa para aktivis gender begitu menggebu dan mempersoalkan gender di Indonesia dalam hak politik? Mengapa Megawati Soekarno Puteri justru dikalahkan dikandangnya sendiri (ingat pemilih terbesar dan terbanyak dalam Pemilu Presiden (Pilpres) adalah kaum perempuan? Padahal pada masa pemerintahan Megawatilah secara de facto dan de jure hak politik perempuan benar-benar diperhatikan.
Memang ketika kita membicarakan sebuah kemenangan politik, tentu tak terlepas dari berbagai variabel, salah satunya adalah variabel kepentingan politik dan pilihan politik. Tetapi suatu pertanyaan nakal kaum kritisi aktivis gender adalah, apakah perjuangan kepentingan hak perempuan belum termasuk dalam sebuah kepentingan politik perempuan Indonesia? Sebuah pertanyaan lanjutan adalah, apakah gender (hak politik perempuan) belum mendapat tempat untuk bertumbuh subur di Indonesia pada umumnya dan NTT pada khususnya? Padahal sokongan dana baik dari pemerintah maupun para donatur luar negeri yang terwujud dalam pemberdayaan Sumber Daya manusia (SDM) dan infrastruktur terus bertambah dan mengalir dari tahun ke tahun? Kemana muaranya dan mengapa gender belum menganak akar dalam masyarakat kita?
Ada beberapa pertimbangan yang menyebabkan gender secara umum dan politik perempuan khususnya belum merasuki masyarakat Indonesia dan NTTsebagai sebuah persoalan yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat. Pertama, masyarakat masih mengkonsumsi gender sebagai sebuah persoalan kodrat bukan persoalan rasional dan sosial kultural. kultur Indonesia dan NTT umumnya masih menganggap dan mengadopsi nilai peran perempuan dan laki-laki sebagai sebuah konteks yang alami dan kodrati; dengan ciri yang jelas dan tidak dapat dipertukarkan, sehingga bukan menjadi masalah bagi sebagian besar masyarakat Indonesia dan NTT dengan didukung budaya partriakal yang kental. Kedua, persoalan Sumber Daya Manusia (SDM) masyarakat Indonesia dan NTT yang telah didukung budaya partriakal yang kental diperparah lagi dengan SDM yang belum memadai.
Permasalahan gender mencuat pada intinya adalah ketidakadilan baik dalam tatanan nilai maupun peran dari laki-laki dan perempuan dalam realitas masyarakat. Konteks pertukaran nilai dan peran dapat dilaksanakan, jika masyarakat telah memahami/rasional agar mampu memilah fungsi kodrati manusia ( biologisdan anatomi) dan fungsi sosial-kultural (gender). Untuk itu persoalan pemahaman adalah persoalan sumber daya manusia. Langkah awal yang perlu dilakukan aktivis gender adalah bagaimana memberdayakan program kerjanya agar dapat lebih melibatkan institusi pendidikan formal dan informal maupun media massa cetak dan elektronik sehingga lebih efektif dan efisien. Ketiga, persoalan interaksi antara laki-laki dan perempuan. Poin ketiga ini, penulis mengadopsi dari seorang Profesor Sosio-Linguistik dari Universitas Georgetown Washington, yang bernama Debora Tannen. Hasil risetnya memberikan sebuah telaahan bagaimana tumbuhnya kultur yang berbeda antara laki-laki dan perempuan yang berdampak pada interaksi (komunikasi).
Menurutnya bahwa terjadinya perbedaan hakiki laki-laki dan perempuan dalam hal mengekspresikan sebuah realitas. Sang perempuan akan lebih cenderung mengarah pada sebuah tujuan keakraban dalam menjalin sebuah koneksitas, sedangkan seorang laki-laki cenderung kepada sebuah sifat yang mandiri, sebuah status yang berasal dari kompetisi. Kata kunci keakraban adalah " kita akrab dan sama-sama", sedangkan kata kunci kemandirian adalah " kita terpisah dan berbeda". Karena realitas seperti itulah menurut sang Profesor menjadi penyebab laki-laki ingin berkuasa atau dominan, sedangkan sang perempuan memiliki keakraban dan kebersamaan dan tidak menginginkan adanya dominasi.
Menurut penulis, dari ketiga permasalahan di atas, dapat membiaskan pada politik perempuan yang jika dikalkulasi keterwakilan perempuan dalam politik, masihlah sangat jauh dibanding jumlah perempuan yang telah memiliki hak politik (hak suara). Apa penyebab dari minimnya perempuan tampil dalam kancah perpolitikan Indonesia? Selain ketiga masalah tersebut di atas, yang menjadi penyebab lain adalah nilai jual perempuan dalam politik. Sifat magnetik perempuan dalam politik yang belum terasah tajam sehingga kurang mendapatkan simpati atau daya tarik dari konsumen politik.
GRAVITASI POLITIK PEREMPUAN
Analogi gravitasi dalam politik di atas jika dikaitkan dengan minimnya kaum perempuan dalam keterwakilan politik, dapat dikatakan dengan bahasa yang sederhana yakni "arus gravitasinya lemah atau tidak menguntungkan bila dibanding dengan arus gravitasi laki-laki dalam politik. Penulis menyadari bahwa banyak variabel yang turut mempengaruhi sebuah pilihan politik. Tetapi bagi penulis, sebuah pilihan yang rasional dalam politik tak terlepas dari sebuah konsep dasar kepentingan. Ketika kita mendiskusikan kepentingan (politik) tentu tak terlepas tentang "untung-rugi sebuah pilihan politik.
Karena itu bagi aktivis gender terutama kaum perempuan yang ingin masuk dalam kancah politk atau terlibat dalam dunia politik dan pemerintahan perlulah memberdayakan gender untuk mendapatkan sebuah keseragaman dalam pergerakan. Selain itu perlu meningkatkan SDM masyarakat, agar minimal mampu memilah sebuah permasalahan kodrati manusia dan sosial kultural.
Sebuah ungkapan klasik ini dapat menjadi sebuah tuntunan bahwa laki-laki dan perempuan selalu menjadi tiang pengharmoni kehidupan. Kesuksesan seorang lelaki dalam panggung kehidupan tentu tak terlepas dari peran perempuan perkasa di sampingnya. jadikanlah bahwa tampilnya perempuan perkasa dalam ranah kehidupan politik sudah pasti ada laki-laki perkasa di sampingnya pula.
Mawar itu merah karena kita telah menatapnya, seandainya kita tidak menatapnya, kita pasti tidak tahu bahwa mawar itu berwarna merah atau bukan; itulah secuil tatapan realitas seorang Karl Popper filsuf kenamaan. Begitupun politik perempuan, kita harus memandang sebagai sebuah mawar yang harus tetap ditatap sehingga dapat mengetahui dan mengikuti perkembangannya. Pada titik inilah sebuah pertanyaan yang wajar bukanlah mengenai apa yang dilakukan atau tidak dilakukan, melainkan apakah sesuatu yang yang dilakukan itu, telah dilakukan juga dengan baik? Ucapan ini dapat dikenakan bagi para aktivis gender dan aktivis politik perempuan.
|
gak kebaca..
BalasHapushahaha...mtamu rusak t..........ckckc
BalasHapusntar d akk chnge lgii....:D