Minggu, 22 Mei 2011

Peran Politik Perempuan


Menurut penulis, peran politik permpuan di Indonesia telah dimunculkan  sejak R.A. Kartini memperjuangkan hak-hak politik (kesetaraan gender). Harus diakui bahwa ide pergerakan politik Indonesia yang berakhir dengan sebuah kemerdekaan negeri ini, bercikal bakal dari sebuah bukunya Habis Gelap Terbitlah TerangBuku ini bukan hanya menginspirasikan gerakan gender di Indonesia, tetapi menjadi inspirator gerakan politik kemerdekaan.
Sebut saja beberapa pemikir dan pejuang Indonesia yang diilhami pemikiran Kartini dalam pergerakan Indonesia seperti Sutan Syahrir, Mohamad Hatta, Soekarno, Mohamad Yamin dan Agus Salim. Pantaslah beberapa ahli  menobatkan Kartini sebagai ibu dari nasionalisme modern Indonesia, karena keberhasilannya melihat secara kritis dan tajam tentang nilai-nilai yang mempengaruhi kehidupan masyarakat saat itu perlu disesuaikan dengan peradaban baru menuju Indonesia Baru.

Pada Rezim Orde Baru pun,  perempuan selalu dikedepankan  dalam kancah perpolitikan dan pemerintahan di Indonesia. Jika kita menggunakan parameter kuantitatif, maka jelas sangatlah tidak memuaskan. Kaum perempuan sering dijadikan sebagai partner yang belum menampakan peran yang jelas. Kementerian yang mengurus tentang perempuan tampak dalam Rezim Orde Soeharto ini, belum memberdayakan perempuan secara maksimal. Bahkan lebih menunjukkan sebuah kecenderungan sebagai pelengkap dan pendamping  kaum lelaki. Tampak adalah banyak organisasi perempuan yang berada dibalik karya kaum pria. Sebut saja Organisasi Dharma Wanita, PKK dan Ormas Perempuan yang bertujan untuk mendukung kehidupan rezim pada masa itu.

Pada era Reformasi ini, peran politik perempuan secara serius telah diakomodir dengan sebuah kebijakan legal formal dalam bentuk Undang undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang memberikan kuota 30% untuk perempuan dalam pemilu legislatif. Selain itu UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Dalam realitas pemerintahan di Indonesia saat ini telah memberikan hak-hak politik  untuk masuk dalam kancah pemerintahan mulai dari tingkat desa/kelurahan, camat, bupati/walikota, gubernur, menteri bahkan presiden. Keterwakilan perempuan dalam mendapatkan kepercayaan politik tentu menjadi sebuah parameter tersendiri. Hal ini jika kita kaitkan dengan berbagai opini atau berita yang melabelkan gender di Indonesia masih menjadi sebuah permasalahan besar, tentunya perlu didiskusikan lebih jauh.Sebuah pertanyaan lepas penulis adalah mengapa para aktivis gender begitu menggebu dan mempersoalkan gender di Indonesia dalam hak politik? Mengapa Megawati Soekarno Puteri justru dikalahkan dikandangnya sendiri (ingat pemilih terbesar dan terbanyak dalam Pemilu Presiden (Pilpres) adalah kaum perempuan? Padahal pada masa pemerintahan Megawatilah secara de facto dan de jure hak politik perempuan benar-benar diperhatikan.

Memang ketika kita membicarakan sebuah kemenangan politik, tentu tak terlepas  dari berbagai variabel, salah satunya adalah variabel  kepentingan politik dan pilihan politik. Tetapi suatu pertanyaan nakal kaum kritisi aktivis gender adalah,  apakah perjuangan kepentingan hak perempuan belum termasuk dalam sebuah kepentingan politik perempuan Indonesia? Sebuah pertanyaan lanjutan adalah, apakah gender (hak politik perempuan) belum mendapat tempat untuk bertumbuh subur di Indonesia pada umumnya dan NTT pada khususnya? Padahal sokongan dana baik dari pemerintah maupun para donatur luar negeri yang terwujud dalam pemberdayaan Sumber Daya manusia (SDM) dan infrastruktur terus bertambah dan mengalir dari tahun ke tahun? Kemana muaranya dan mengapa gender belum menganak akar dalam masyarakat kita?

Ada beberapa pertimbangan yang menyebabkan gender secara umum dan politik perempuan khususnya belum merasuki masyarakat Indonesia dan NTTsebagai sebuah persoalan yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat. Pertama,  masyarakat masih mengkonsumsi gender sebagai sebuah persoalan kodrat bukan persoalan rasional dan sosial kultural. kultur Indonesia dan NTT umumnya masih menganggap dan mengadopsi nilai peran perempuan dan laki-laki sebagai sebuah konteks yang alami dan kodrati; dengan ciri yang jelas dan tidak dapat dipertukarkan, sehingga bukan menjadi masalah bagi sebagian besar masyarakat Indonesia dan NTT dengan didukung budaya partriakal yang kental. Kedua, persoalan Sumber Daya Manusia (SDM) masyarakat Indonesia dan NTT yang telah didukung budaya partriakal yang kental diperparah lagi dengan SDM yang belum memadai.

Permasalahan gender mencuat pada intinya adalah ketidakadilan baik dalam tatanan nilai maupun peran dari laki-laki dan perempuan dalam realitas masyarakat. Konteks pertukaran nilai dan peran dapat dilaksanakan, jika masyarakat telah memahami/rasional agar mampu memilah fungsi kodrati manusia ( biologisdan anatomi) dan fungsi sosial-kultural (gender). Untuk itu persoalan pemahaman adalah persoalan sumber daya manusia. Langkah awal yang perlu dilakukan aktivis gender adalah bagaimana  memberdayakan program kerjanya agar dapat lebih melibatkan institusi pendidikan formal dan informal maupun media massa cetak dan elektronik sehingga lebih efektif dan efisien. Ketiga, persoalan interaksi antara laki-laki dan perempuan.  Poin ketiga ini, penulis mengadopsi dari seorang Profesor Sosio-Linguistik  dari Universitas Georgetown Washington, yang bernama Debora Tannen. Hasil risetnya memberikan sebuah telaahan bagaimana tumbuhnya kultur yang berbeda antara laki-laki dan perempuan yang berdampak pada interaksi (komunikasi).

Menurutnya bahwa terjadinya perbedaan hakiki laki-laki dan perempuan dalam hal mengekspresikan sebuah realitas. Sang perempuan akan lebih cenderung mengarah pada sebuah tujuan keakraban dalam menjalin sebuah koneksitas, sedangkan seorang laki-laki cenderung kepada sebuah sifat yang mandiri, sebuah status yang berasal dari kompetisi. Kata kunci keakraban adalah " kita akrab dan sama-sama", sedangkan kata kunci kemandirian adalah " kita terpisah dan berbeda". Karena realitas seperti itulah menurut sang Profesor menjadi penyebab  laki-laki ingin berkuasa atau dominan, sedangkan sang perempuan memiliki keakraban dan kebersamaan dan tidak menginginkan adanya dominasi.

Menurut penulis, dari ketiga permasalahan di atas, dapat membiaskan pada politik perempuan yang jika dikalkulasi keterwakilan perempuan dalam politik, masihlah sangat jauh dibanding jumlah perempuan yang telah memiliki hak politik (hak suara). Apa penyebab dari minimnya perempuan tampil dalam kancah perpolitikan Indonesia? Selain ketiga masalah tersebut di atas, yang menjadi penyebab lain adalah nilai jual perempuan dalam politik. Sifat magnetik perempuan dalam politik yang belum terasah tajam sehingga kurang mendapatkan simpati atau daya tarik dari konsumen politik.


GRAVITASI POLITIK PEREMPUAN


Analogi gravitasi dalam politik di atas jika dikaitkan dengan minimnya kaum perempuan dalam keterwakilan  politik, dapat dikatakan dengan bahasa yang sederhana yakni "arus gravitasinya lemah atau tidak menguntungkan bila dibanding dengan arus gravitasi laki-laki dalam politik. Penulis menyadari bahwa banyak variabel yang turut mempengaruhi sebuah pilihan politik. Tetapi bagi penulis, sebuah pilihan yang rasional dalam politik tak terlepas dari sebuah konsep dasar kepentingan. Ketika kita mendiskusikan kepentingan (politik) tentu tak terlepas  tentang "untung-rugi sebuah pilihan politik.

Karena itu bagi aktivis gender terutama kaum perempuan yang ingin masuk dalam kancah politk atau terlibat dalam dunia politik dan pemerintahan perlulah memberdayakan gender untuk mendapatkan sebuah keseragaman dalam pergerakan. Selain itu perlu meningkatkan SDM masyarakat, agar minimal mampu memilah sebuah permasalahan kodrati  manusia dan sosial kultural.

Sebuah ungkapan klasik ini dapat menjadi sebuah tuntunan bahwa laki-laki dan perempuan selalu menjadi tiang pengharmoni kehidupan.  Kesuksesan seorang lelaki dalam panggung kehidupan tentu tak terlepas dari peran perempuan perkasa di sampingnya. jadikanlah bahwa tampilnya perempuan perkasa  dalam ranah kehidupan politik sudah pasti ada laki-laki perkasa di sampingnya pula.

Mawar itu merah karena kita telah menatapnya, seandainya kita tidak menatapnya, kita pasti tidak tahu bahwa mawar itu berwarna merah atau bukan; itulah secuil tatapan realitas seorang Karl Popper  filsuf kenamaan. Begitupun politik perempuan, kita harus memandang sebagai sebuah mawar yang harus tetap ditatap sehingga dapat mengetahui dan mengikuti perkembangannya. Pada titik inilah sebuah pertanyaan yang wajar bukanlah mengenai apa yang dilakukan atau tidak dilakukan, melainkan apakah sesuatu yang yang dilakukan itu, telah dilakukan juga dengan baik? Ucapan ini dapat dikenakan bagi para aktivis gender dan aktivis politik perempuan.










Dalam buku Menuju Kemandirian Politik Perempuan (2008), Siti Musdah Mulia?perempuan pertama peraih doktor dalam bidang Pemikiran Politik Islam UIN Syarif Hidayatullah?memahami tiga kategori peran dan posisi kaum perempuan. Pertama, perempuan sebagai anak. Kedua, perempuan sebagai istri. Ketiga, perempuan sebagai warga negara. Sebagai anak, seorang perempuan dinilai sejajar dengan kaum laki-laki. Sebagai istri, seorang perempuan bertanggung jawab secara adil terhadap keluarga. Adapun sebagai warga negara, seorang perempuan mendapat hak-hak dan tanggung jawab yang setara dengan kaum laki-laki.
Pemikiran Musdah Mulia merupakan sebuah terobosan baru dalam rangka menjawab proses diskriminasi yang dialami oleh kaum perempuan di Indonesia. Sebab, diskriminasi tidak hanya dalam konteks sosial dan budaya, tetapi sudah memasuki wilayah politik kekuasaan. Oleh karena itu, pemikiran Musdah Mulia bisa dikatakan sebagai sebuah perlawanan terhadap sistem budaya patriarkhi.

Diskriminasi
Dalam konteks politik, peran dan posisi kaum perempuan di Indonesia memang masih mengalami diskriminasi. Fenomena semacam ini juga tidak hanya terjadi di Indonesia, namun di negara-negara lain yang menganut sistem budaya patriakhi juga menunjukkan gejala yang sama. Kaum perempuan di beberapa negara di dunia masih buta terhadap politik. Tidak hanya di negara-negara Islam, tetapi negara-negara non Islam pun masih banyak didapati perempuan yang tidak memahami wilayah politik kekuasaan.
Sesungguhnya, masalah peran dan posisi kaum perempuan di wilayah publik merupakan bagian dari hak-hak asasi yang setiap manusia berhak memilikinya. Namun yang cukup ironis, kaum perempuan justru banyak yang belum memahami tentang hak-hak mereka. Oleh karena itu, para aktivis Feminisme memang perlu menggarap agenda advokasi, pendampingan, dan pendidikan politik.
Di Indonesia, jumlah perempuan mendominasi kaum laki-laki. Tetapi ironisnya, kaum perempuan di Indonesia masih banyak yang buta terhadap wacana politik. Akibatnya, peran dan posisi mereka di wilayah pengambil kebijakan masih sangat minim. Seolah-olah politik menjadi wilayah tabu bagi kaum perempuan.
Kita bisa mengambil sebuah kasus sewaktu sosok Megawati Soekarno Putri, putri mendiang presiden pertama RI (Soekarno), mencalonkan diri sebagai presiden pada Pemilu 1999. Perdebatan apakah seorang perempuan berhak menjabat sebagai pemimpin atau tidak seolah-olah belum mencapai titik temu. Bagi umat Islam di Indonesia, kehadiran figur pemimpin perempuan memang menjadi kontroversi yang tak kunjung henti. Sekalipun kelompok cendekiawan Muslim modernis memperbolehkan kepemimpinan perempuan, tetapi tidak mudah bagi kelompok Islam tradisionalis yang masih berhaluan literalis.
Perdebatan masalah kepemimpinan perempuan dalam konteks politik merupakan sebuah konsekuensi logis bagi rakyat Indonesia yang mayoritas pendudukanya beragama Islam. Sebab, dalam catatan sejarah umat Islam, keberadaan kaum perempuan cenderung dipahami secara diskriminatif dan tidak adil. Sejarah umat Islam yang berawal dari sebuah bangsa dengan sistem budaya patriarkhi (bangsa Arab) memang sangat mempengaruhi dalam pemahaman ajaran-ajaran agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad ini. Ditopang dengan kapasitas pemahaman terhadap ajaran-ajaran Islam yang tidak memadai, maka sebagian besar umat Islam cenderung literalis dalam menerapkan ajaran Islam. Termasuk dalam hal ini bagaimana menempatkan peran dan posisi kaum perempuan di wilayah publik. Fenomena semacam ini juga amat dengan mudah ditemui di Indonesia.  

Quota 30%
Dalam catatan sejarah bangsa Indonesia, keberadaan pemimpin perempuan hanya sekali, yaitu sewaktu Megawati Soekarno Putri menjabat sebagai presiden. Tampilnya Megawati sebagai pemimpin bangsa telah mengubah paradigma umat Islam bahwa peran dan posisi kaum perempuan bisa sejajar dengan kaum laki-laki.
Sekalipun demikian, perjuangan menempatkan kaum perempuan setara dengan kaum laki-laki masih teramat berat. Sebab, konstruksi sosial bangsa Indonesia menempatkan kaum laki-laki lebih dominan dibanding kaum perempuan (budaya patriarkhi). Indikasinya terletak pada keterlibatan kaum perempuan yang belum proporsional pada jabatan struktural (pemerintahan).
Berdasarkan data BPS tahun 1999, jumlah pegawai negeri sipil (PNS) dari kaum perempuan tercatat sebanyak 36,9%. Padahal, jumlah kaum perempuan di Indonesia mendominasi kaum laki-laki. Data ini menunjukkan bahwa kaum perempuan belum mendapat tempat yang selayaknya di Indonesia.
Menurut Musdah Mulia (2008), berdasarkan data-data tahun 2002, posisi kaum perempuan di MPR masih sebesar 9%. Sementara posisi kaum perempuan di DPR malah baru 8%. Belum lagi di tingkat propinsi atau kabupaten. Dapat disimpulkan jika kaum perempuan masih menempati posisi yang minim.
Para aktivis gerakan Feminisme di Indonesia berperan besar bagi terciptanya keadilan bagi kaum perempuan. Perjuangan aktivis Feminisme di Indonesia cukup membuahkan hasil ketika pada tahun 2003, undang-undang yang mengatur keterlibatan kaum perempuan dalam politik kekuasaan berhasil disahkan. Quota 30% dalam UU No. 12 Tahun 2003, khususnya pada pasal 65, telah memberi ruang bagi partisipasi aktif kaum perempuan di Indonesia.
Walaupun keberadaan UU No. 12 Tahun 2003 telah menjamin keterlibatan partisipasi aktif kaum perempuan di pentas politik nasional, ternyata konstruksi sosial di Indonesia belum bisa menerima sepenuhnya. Sebab, pada hakekatnya sistem sosial bangsa Indonesia cenderung patriarkhi. Oleh karena itu, tidak sedikit kalangan aktivis Feminisme yang menganggap UU No. 12 Tahun 2003 sebagai kebijakan ?setengah hati.? Sekalipun sudah mendapat payung hukum untuk terlibat langsung di pentas perpolitikan nasional, kaum perempuan tetap saja mengalami diskriminasi.
Baru-baru ini, problem ketidakadilan sosial dan politik yang dialami oleh kaum perempuan di Indonesia mendapat angin segar kembali. Disahkannya UU Pemilu 2009 dan UU Parpol tentang kewajiban partai-partai untuk mengusung quota 30% bagi kaum perempuan merupakan hasil perjuangan para aktivis Feminisme untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
Perjuangan untuk mencapai kesetaraan bagi kaum perempuan, khususnya di bidang politik, memang masih panjang. Menurut laporan Monitoring Program Education For All (EFA) UNESCO tahun 2008, Indonesia, Bangladesh dan China diprediksikan bakal mampu meraih tujuan kesetaraan gender pada tahun 2015.
Laporan EFA UNESCO baru-baru ini jelas memiliki relevansi dengan iklim perpolitikan di Indonesia yang mulai berbenah. Pemberlakuan kuota 30% dalamUndang-undang Partai Politik (UU Parpol) dan Undang-undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) baru-baru ini merupakan sebuah indikasi bahwa peta perpolitikan di Indonesia sudah mulai menempatkan posisi bagi kaum perempuan. Namun yang patut dipertanyakan, sejauhmana kesiapan kaum perempuan sendiri dalam menghadapi tuntutan ini?
Peran aktif kaum perempuan di Indonesia jelas ditunggu untuk terlibat langsung dalam pentas perpolitikan nasional. Menanggapi tuntutan ini, apakah kaum perempuan sudah siap menerimanya?

2 komentar: