Selasa, 07 Juni 2011

Konsep Gender


Sebelum dibahas mengenai hal pokok seperti yang dimaksudkan tersebut, terlebih dahulu kiranya perlu dikemukakan secara singkat tentang konsep gender. Dalam kaitan ini, perlu dipahami tiga hal yang saling berkaitan tetapi memiliki pengertian yang berlainan, yakni seks, kodrat dan gender.  Seks adalah kelamin secara biologis, yakni alat kelamin pria (penis) dan alat kelamin wanita (vagina).  Sejak lahir hingga meninggal dunia, pria akan tetap berjenis kelamin pria dan wanita akan tetap berjenis kelamin wanita.
  Ini artinya, antara pria dengan wanita tidak dapat saling tukar jenis kelamin.  Kodrat diartikan sebagai suatu sifat bawaan biologis sebagai anugerah Tuhan Yang Mahaesa yang tidak dapat berubah sepanjang masa dan tidak 3dapat dipindah-pindahkan dari pria kepada wanita dan sebaliknya dari wanita kepada pria.  Implikasi 
dari anugerah itu, seseorang yang berjenis kelamin wanita diberikan peran kodrati yang berbeda dengan seseorang yang berjenis kelamin pria oleh Tuhan Yang Mahaesa. Wanita diberikan peran kodrati lima M, yaitu (1) menstruasi, (2)  mengandung, (3) melahirkan, (4) menyusui dengan air susu ibu dan (5) menopause.  Sedangkan pria diberikan peran kodrati satu M, yaitu membuahi sel telur wanita.  Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa peran kodrati bersifat statis.
            Gender berasal dari kata gender (bahasa Inggris) yang diartikan sebagai jenis kelamin, tetapi bukan jenis kelamin secara  biologis, melainkan secara sosial budaya dan psikologis.  Konsep gender diartikan sebagai suatu konsep hubungan sosial yang membedakan peranan antara pria dengan wanita, yang dibentuk oleh norma sosial dan nilai sosial budaya masyarakat.  Dengan demikian seperti telah dikemukakan sebelumnya, peran gender adalah peran pria dan wanita yang tidak ditentukan oleh perbedaan kelamin seperti halnya peran  kodrat.  Berdasarkan pemahaman itu, maka peran gender dapat berbeda di antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya sesuai dengan norma sosial dan nilai sosial budaya yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan, dapat berubah dan diubah dari masa ke masa sesuai dengan kemajuan pendidikan, teknologi, ekonomi dan sebagainya, dan dapat ditukarkan antara pria dengan wanita.  Hal ini berarti, peran gender bersifat dinamis. Berkaitan dengan hal tersebut, dikenal ada tiga jenis peran gender sebagai berikut. (1) Peran produktif (peran di sektor publik) adalah peran yang dilakukan oleh seseorang, pria atau wanita, menyangkut  pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa, baik untuk dikonsumsi maupun untuk diperdagangkan.  (2) Peran reproduktif (peran di sektor domestik), adalah peran yang dilakukan  oleh seseorang, pria atau wanita, untuk kegiatan yang berkaitan dengan pemeliharaan sumber daya manusia dan pekerjaan urusan rumah tangga, seperti mengasuh anak, membantu anak belajar, berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari, membersihkan rumah, mencuci alat-alat rumah tangga, mencuci pakaian dan lainnya.  (3) Peran sosial adalah peran yang dijalankan oleh seseorang, pria atau wanita, untuk berpartisipasi di dalam kegiatan 4 kemasyarakatan, seperti gotong royong dalam menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang menyangkut kepentingan bersama (di banjar, desa pakraman, subak dan lainnya). Pada beberapa kepentingan, norma sosial mengacu pada norma tradisional dan perilaku yang sesuai dengan jenis kelaminnya diharapkan oleh masyarakat, dimana laki-laki lebih diharapkan lebih kuat, dominant, asertif, sementara perempuan seharusnya mempunyai sifat merawat, sensitif, dan ekspresif. Jika situasinya sesuai dan nyaman, maka akan sangat memuaskan untuk mengikuti dan bertingkah laku sesuai norma sosial tersebut, namun jika tidak sesuai, maka tingkah laku dapat disesuaikan dengan kondisi (Wood et al., 1997 dalam Baron&Byrne, 1979).
Androgynous
Kebanyakan dari kita melihat maskulinitas dan femininitas sebagai dua hal yang berada di dua ujung kutub dari satu kontinum (Storm, 1980 dalam Spencer&Jeffrey, 1993 ). Oleh karena itu kita berasumsi bahwa semakin maskulin seseorang, maka semakin kurang feminin ia dan begitu pula kebalikannya. Sehingga, seorang pria yang memiliki sifat stereotipikal feminin seperti pengasuhan, tenderness, dan emosional sering dilihat sebagai kurang maskulin dibanding pria lain. Perempuan yang bersaing dengan laki-laki dalam dunia bisnis diterima bukan hanya lebih maskulin tapi juga kurang feminin dibanding wanita lain.
Beberapa ilmuwan behavioral berargumen bahwa maskulinitas dan femininitas sebenarnya membandingkan dua dimensi kepribadian yang berdiri sendiri (Bem, 1975; Spence at al.,1975; Helmreich et al, 1979 dalam Spencer&Jeffrey, 1993). Orang yang memiliki maskulinitas tinggi, baik laki-laki maupun wanita dapat pula memiliki sifat feminin dan kebalikannya. Orang yang mempertunjukkan keasertifan dan keterampilan instrumental yang bersifat maskulin berjalan beriringan dengan pengasuhan dan kerjasama yang bersifat feminin yang cocok dengan maskulinitas dan femininitas peran gender. Mereka ini disebut telah menunjukkan psychological androgyny. Orang yang tinggi dalamassertiveness dan keterampilan instrumental hanya cocok dengan stereotipe maskulin. Orang yang tinggi dalam sifat seperti pengasuhan dan kerjasama cocok dengan stereotipe feminin. Orang yang rendah di pola stereotipe maskulin dan feminin dilihat sebagai “undifferentiated” merujuk pada stereotipe peran gender. Orang yang psychologically androgynous mampu untuk memanggil range yang lebih luas dari sifat maskulin dan feminin untuk menemukan tuntutan dari berbagai macam situasi dan untuk mengekspresikan hasrat dan bakat mereka.
Terdapat pula bukti bahwa sifat feminin, seperti pengasuhan dan sensitivitas, muncul untuk memprediksi keberhasilan dalam hubungan intim-dengan laki-laki sebaik dengan perempuan. Laki-laki androgynouslebih mungkin untuk mengekspresikan perasaan cintanya kepada pasangannya dan lebih dapat menerima kesalahan pasangannya daripada tipe maskulin (Coleman & Ganong, 1985 dalam Spencer&Jeffrey, 1993 ).
Remaja maskulin dan androgynous dari kedua gender cenderung untuk lebih popular dan memiliki harga diri yang tinggi dibanding remaja lain (Lamke, 1982 dalam Spencer&Jeffrey, 1993) . Hal ini tidak mengejutkan, merupakan hal yang biasa bahwa remaja laki-laki lebih sejahtera apabila memiliki stereotipe sifat maskulin. Namun yang lebih mengejutkan, adalah para remaja perempuan juga lebih sejahtera ketika mereka mempertunjukkan stereotip sifat maskulin, sepertiassertiveness dan kemandirian. Terlihat bahwa perempuan muda tidak beresiko apabila orang lain mempertanyakan femininitas mereka apabila mereka mempertunjukkan sifat maskulin, menyediakan lebih banyak bukti bahwa konstelasi dari sifat yang kita sebut maskulinitas dan femininitas merupakan kelompok yang berdiri sendiri.
Laki-laki dan perempuan yang psychologically androgynous lebih merasa nyaman dengan seksualitas mereka daripada laki-laki maskulin dan wanita feminin (Wolfish & Mayerson, 1980 dalam Spencer&Jeffrey, 1993).
Dari berbagai macam sudut pandang, kita telah memeriksa bahwa laki-laki termasuk dalam kelompok standardisasi menunjukkan dengan jelas minat yang berbeda dalam mengeksploitasi dan berpetualang, dioutdoor, dan secara fisik memiliki pekerjaan yang sibuk, dalam bidang perlengkapan dan mesin, ilmu sains, fenomena fisik, dan penemuan. Di pihak lain perempuan dalam kelompok kita telah menunjukkan dengan jelas minat yang berbeda pada pekerjaan domestik dan pada objek dan pekerjaan estetik, mereka secara berbeda memilih pekerjaan yang menetap dan pekerjaan indoor, pekerjaan tersebut lebihministrative secara langsung, khususnya bagi orang muda, ketidakberdayaan, distress yang muncul.
Laki-laki secara langsung maupun tak langsung memuat self-assertionyang lebih besar dan juga agresivitas : mereka lebih mengekspresikan kepayahan dan ketidaktakutan, lebih kasar dalam perbuatan, bahasa dan perasaan. Perempuan mengekspresikan diri sendiri lebih mudah terharu dan simpatik, lebih malu-malu, lebih pemilih dan sensitif secara estetik, secara umum lebih emosional, lebih kuat memegang moral, lebih lemah dalam mengendalikan emosi dan lemah dalam hal fisik.
Orang-orang maskulin dan androgynous dari kedua gender cenderung untuk memiliki harga diri yang lebih tinggi dan secara umum lebih baik dalam menyesuaikan secara psikologis daripada orang yang feminin atau undifferentiated. Contohnya penelitian yang menyatakan bahwa individu laki-laki maupun perempuan yang androgini dikatakan lebih baik dibandingkan individu yang menganut tipe gender pada umumnya (Major, Carnevale,&Deaux, 1981 dalam Baron&Byrne 1979), lebih kreatif dan optimis (Norlander, Erixon,&Archer, 2000 dalam Baron&Byrne 1979), lebih ,mudah menyesuaikan diri (Williams&D’Alessandro, 1994 dalam Baron&Byrne 1979), lebih baik dalam beradaptasi dengan permintaan dari situasi yang berbeda-beda (Prager&Bailey, 1985 Baron&Byrne 1979), lebih fleksibel dalam menangani stress (McCall&Struthers, 1994 Baron&Byrne 1979), lebih baik dalam mengurangi stress orang lain (Hirokawa et al, 2001 dalam Baron&Byrne 1979), lebih tidak rawan terkena eating disorder (Thornton, Leo,&Alberg, 1991 dalam Baron&Byrne 1979), lebih nyaman dengan seksualitasnya (Garcia, 1982 dalam Baron&Byrne 1979) dan lebih puas dengan hubungan interpersonalnya (Rosenzweig&Daley, 1989 dalam Baron&Byrne 1979) dn dengan kehidupannya secara umum (Dean-Church&Gilroy, 1993 dalam Baron&Byrne 1979).
Selanjutnya hal ini muncul bahwa keuntungan tersebut lebih berkaitan secara kuat dengan kehadiran sifat maskulin daripada kombinasi antara sifat maskulin dan feminin (Bassoff & Glass, 1982; Whitley, 1983 dalam Spencer&Jeffrey, 1993). Sehingga, sifat maskulin sepertiassertiveness dan independence dapat dikaitkan dengan psychological well-being, walau dengan atau tanpa adanya ia dikombiansikan dengan sifat feminin seperti kehangatan, pengasuhan dan kerjasama. Kehadiran dari kepribadian yang maskulin hadir pada satu sampel dari mahasiswa yang lebih kuat diasosiasikan dengan kemampuan beradaptasi dan kecakapan dalam berbagai hal daripada androgyny (Lee & Scheuree, 1983 dalam Spencer&Jeffrey, 1993). Di lain pihak, terdapat sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa mahasiswa androgynous lebih mungkin untuk memiliki sense of personal identity dan intimacy ketimbang mahasiswa feminin, undifferentiated dan maskulin (Schiedel & Marcia, 1985 dalam Spencer&Jeffrey, 1993). Sehingga mereka lebih mungkin dalam mengembangkan sebuah sense yang kuat mengenai siapa diri mereka dan apa yang mereka percayai (identitas)., dan mereka memiliki kapasitas yang lebih besar untuk membentuk dan menjaga keintiman, hubungan berbagi.

2 komentar:

  1. Hai hai. . . . .
    Ini Nanda Dwi Cahya
    Anak UNP
    Semester 2
    Sedang mencari Jati diri
    Salam kenal ya

    BalasHapus
  2. hahaha........preett lo nda..
    gw ank uin suska riau...smt 2 jugee
    slam knal blikk...:p

    thnk u 4 vsiting...:)
    dn't 4get to fllow........hehe

    BalasHapus